Sunday, August 03, 2003

Hijrah: Sebuah Pola Perjuangan (2)
saduran,

Memang benar sebab hijrahnya kaum muslimin dari Mekkah ke Madinah adalah karena tekanan fisik dan siksaan yang dilakukan kaum kafir Quraisy terhadap kaum muslimin di Mekkah. Tetapi itu bukan satu-satunya sebab, karena apabila hanya karena tekanan dan siksaan maka para sahabat Rasulullah saw seperti Abu Bakar dan Umar bin Khatob yang tidak mendapatkan siksaan seharusnya tidak wajib berhijrah. Namun dalam realitanya seluruh kaum muslimin di Mekkah yang tertekan ataupun tidak, diwajibkan untuk berhijrah. Karena hijrah lebih merupakan ujian atas iman mereka sebagaimana janji Allah dalam firmannya: "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan: "Kami telah beriman", sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungghnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. 29: 2-3)
Hadits diatas adalah dalam kontek hijrah seperti ini yaitu hijrah makani atau hijrah teritorial. Dalam artian bahwa setelah dibukanya kota Mekkah oleh Rasulullah saw kota itu menjadi bagian dari Daru-l-Islam, maka kaum muslimin tidak diperintahkan lagi untuk berpindah dari daerah asalnya ke Mekkah. Tetapi yang masih tetap wajib adalah jihad dan niat. Artinya bahwa seorang muslim tidak boleh lagi berhijrah berpindah dari tanah airnya apabila di serang dan diduduki oleh non-muslim tetapi mereka harus berjihad untuk mempertahankan apa yang menjadi haknya.
Kedua, Hijrah Nafsiyah, perpindahan secara spiritual, intelektual dan transendental dari kekafiran kepada keimanan. Dari kebodohan kepada ilmu. Ketiga, Hijrah Amaliyah, perpindahan perilaku dan perbuatan seperti perpindahan dari perilaku jahiliyah kepada perilaku dan akhlak Islam atau meninggalkan segala sesuatu yang dilarang Allah kepada yang diperintahkan dan diridhai-Nya.
Hijrah yang kedua dan ketiga ini tetap ada bahkan harus selalu dilakukan oleh setiap Muslim sampai hari kiamat. Rasulullah saw bersabda :
"Tidak akan habis (kewajiban dan kesempatan) untuk berhijrah sebagaimana tidak akan habis (kewajiban dan kesempatan) untuk bertaubat. Sedangkan (kewajiban dan kesempatan bertaubat tidak akan habis sampai matahari terbit di Barat". (HR. Abu Dawud)
Hadits ini menginterpretasikan hijrah sebagai taubat sebagaimana dipertegas oleh sabda Rasulullah saw lainnya: "Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa" (HR. Imam Ahmad).
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim: "Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang telah dilarang oleh Allah swt."
Bagi seorang Muslim, hijrah kedua dan ketiga bisa dikatakan sebagai proses reformasi. Terminologi reformasi dalam bahasa Inggris, Reformation; dalam bahasa Prancis Renaissance; dan dalam bahasa Jerman, Aufklaruung secara etimologi adalah derivat dari to reform artinya to make better by removal of faults and errors (membuat sesuatu lebih baik dengan menghilangkan dan membuang kesalahan dan kekeliruan)(The Oxford Reference Dictionary, hal 1212). Karena itu hijrah dan reformasi mempunyai esensi yang sama.
Secara umum, reformasi ini bisa kita bagi menjadi tiga fase: reformasi individual (spiritual-moral), reformasi sosio-kultural dan reformasi struktural. Secara historis peristiwa hijrah dapat dijadikan contoh praktis. Selama kurang lebih tiga belas tahun Rasulullah saw telah mengadakan reformasi individual dalam masyarakat Quraish. Para sahabatnya yang tersentuh dakwah Rasulullah saw segera mengadakan hijrah baik secara spiritual ataupun moral. Mereka meninggalkan kekufuran dan jahiliyah lalu menggantinya dengan keimanan dan akhlak islamiyah. Reformasi individual-spiritual-moral ini selanjutnya mendorong terjadinya reformasi sosio-kultural, karena sekelompok manusia yang telah melakukan reformasi individual mau tidak mau akan mereformasi tatanan kehidupan sosio-kulturalnya. Dalam sejarah Islam kita lihat bagaimana kehidupan sosio-kultural jahiliyah yang penuh dengan permusuhan dan peperangan berubah menjadi sosio-kultural islami yang penuh persaudaraan dan kasih sayang. Dalam peristiwa hijrah, lihat bagaimana Rasulullah saw membangun sosio-kultural Islami di Madinah dengan melakukan Muakhah (mempersaudarakan) antara kaum Muhajirin yang datang dari Mekkah dan kaum Anshor, orang-orang asli Madinah.
Ketika kedua fase reformasi itu sudah dilakukan oleh sekelompok manusia maka pasti mereka akan menuntut untuk mengadakan reformasi struktural sehingga sesuai dengan tingkat intelektual dan keimanan mereka. Rasulullah saw dan para sahabat yang telah berhasil mengadakan reformasi individual dan kultural namun gagal mengadakan reformasi struktural karena kekuatan kaum kafir Quraisy jauh lebih kuat dari mereka, terpaksa harus mengadakan Hijrah Makani ke Madinah sehingga dapat membuat dan mendirikan struktur yang Islami yang cocok dengan mereka.
Maka sebenarnya reformasi dan hijrah selain merupakan sunnatullah, juga satu keharusan bagi dinamika kehidupan manusia yang terus berkembang maju. Karena itu reformasi bukanlah aib yang harus ditantang dan ditolak, tetapi sebaliknya harus diterima dan dilakukan sesuai perkembangan diri kita. Bertambah tinggi tingkat rasionalitas kehidupan kita individual dan sosio-kultural bertambah tinggi pula tuntutan rasionalisasi struktural kita.
Tetapi proses hijrah atau reformasi tidak serta merta menghasilkan sesuai yang baik kecuali dilakukan dengan proses yang benar. Proses reformasi dan hijrah ini harus dimulai dengan ma'rifatul-haq (mengetahui yang benar dan lebih baik). Karena itu proses belajar dan dialog sangat penting. Tanpa mengetahui mana yang haq dan yang batil; yang salah dan yang benar tidak ada akan pernah terjadi reformasi dan hijrah, karena sang pelaku selalu yakin berada dalam kebenaran, bahkan reformasi dan hijrah akan dituduh sebagai gerakan inkonstitusional. Standar haq atau kebenaran adalah Allah bukan manusia. Allah berfirman: Al haqqu mir robbika falaatakunanna minal mumtarin (Kebenaran itu dari Tuhanmu maka janganlah kamu menjadi orang yang ragu). Kebenaran dari manusia adalah relatif sedangkan kebenaran dari Allah adalah absolut (mutlak). Siapapun yang mengabsolutkan manusia, kecuali apa yang datang dari Rasulullah saw, karena Rasulullah saw tidak pernah berkata kecuali wahyu dengan menyatakan bahwa seluruh yang datang dari orang itu benar, siapapun dia berarti telah melakukan syirk (menyekutukan Allah) balasannya adalah kekekalan dalam api neraka. Karena hanya Allah sebagai Al Haq (Maha Benar). Sedangkan manusia adalah mahalul khottho wan nisyan (tempatnya kesalahan dan kelalaian). Rasulullah saw bersabda: "Setiap anak Adam itu pasti pernah berbuat salah dan sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang bertaubat". Orang yang menyandarkan kebenaran hidupnya pada manusia pasti sesat sedang yang menyandarkan hidupnya pada Allah pasti selamat.
Setelah ma'rifatul-haq, proses selanjutnya adalah taubat dari segala kesalahan dan dosa-dosa yang telah diperbuat. Taubat ini harus memenuhi empat syaratnya: Pertama, meninggalkan perbuatan dosa dan kesalahan itu secara total. Kedua, menyesali perbuatan itu dengan sepenuh hati. Ketiga, berjanji kepada Allah untuk tidak kembali kepada dosa dan kesalahan itu. Keempat, adalah syarat apabila kesalahan yang dilakukan berhubungan dengan orang lain, maka harus meminta maaf kepada yang bersangkutan.
Maka untuk sebuah reformasi dan hijrah yang sangat mendesak pada kehidupan berbangsa saat ini, semua kita, siapapun kita, harus sama-sama bertaubat dengan taubatan nasuha dari semua dosa kita. Jangan ada yang merasa benar sendiri dan melihat yang salah selalu orang lain. Atau jangan ada usaha untuk mencari kambing hitam. Karena semua itu hanya akan menghalangi proses hijrah dan reformasi yang kita laksanakan.
Baru setelah itu proses selanjut bisa dilakukan, yaitu: pindah, mengambil dan melaksanakan apa yang kita yakini dan disepakati sebagai al-haq dan yang lebih baik sesuai dengan tuntunan Allah dan RasulNya. Dan proses yang terakhir adalah komitmen dan istiqomah dengan al-haq itu sampai akhir hayat.
Inilah konsep hijrah yang juga merupakan konsep reformasi yang harus diambil oleh setiap muslim dalam melakukan perubahan dan peningkatan diri dan yang bisa diambil sebagai framework untuk reformasi yang diharapkan oleh bangsa ini. Mudah-mudahan dengan konsep Hijrah ini merupakan momen penting bagi bangsa kita yang sedang melakukan reformasi nasional untuk meluruskan arah dan proses reformasi ini, amiin. (Ahmad Hatta)